Selasa, 28 Desember 2010
— - Surat Cinta Pak Habibie untuk Alm Istri
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang, pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Sabtu, 18 Desember 2010
Rumah = Bank Cinta
Seorang yg sudah mapan akan materi pasti ingin membeli rumah....
Rumah bagaikan harta yg tak ternilai harganya.....
Tiap kita selesai melakukan kegiatan, pasti kita akan menuju rumah
Entah ingin beristirahat, makan, bermain, maupun beribadah....
Rumah itu indah.......
Jika kita menabur benih cinta di dalamnya....
Rumah tercipta untuk penghuninya..yg tidak lain adalah keluarga itu sendiri..
Tanpa keluarga rumah tak berarti apa-apa...
Begitu pula Rumah... tanpa penghuni, rumah tak berarti apa-apa juga...
namun kadang kalanya seseorang itu tidak ingin kembali ke rumahnya....
Mengapa Hal itu bisa terjadi?????
ya tentu saja...
karena tidak ada benih-benih cinta di rumahnya....
Rumah bagaikan sebuah Bank Cinta... bila kita menabung cinta semakin banyak .....maka investasi kebahagiaan semakin tinggi...
Rumah yg Indah adalah sebuah rumah yang dapat memberikan penghuninya jiwa, pikiran, dan raga yang "FRESH'..
dapat mengendalikan penghuni dari pengaruh negatif...
memberikan Cinta Kasih kepada semua yg pernah masuk ke dalamnya..
dan tentu saja Memberikan pendidikan kepada penghuninya...
jadi janganlah malu akan kondisi rumah Kita...
bersyukurlah jika kalian memiliki rumah..walaupun hanya sebuah gubug..
berjanjilah untuk merawat rumah kalian...
karena bnyk saudara-saudara kita yg tidak memiliki rumah
Berikanlah cintamu pada warisan yg luhur ini.....
Rumah... Engkau Bagaikan Tulang belulangku....
Tanpa engkau aku tak bisa berteduh di dunia ini....
Aku akan merawatmu sebisa mungkin...
Aku tak mau merusakmu...
Rumah aku mencintaimu....
kau akan kukenang sampai Maut Menjemputku.....
Rumah..indah...aku sayang kamu...
rumah aku ingin berada di pelukanmu...
rumah aku rindu padamu..
rumah aku ingin kau menantiku...
rumah...
rumah,,,......,,,,.......
Aku PUNYA RUMAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH...............................



Rumah bagaikan harta yg tak ternilai harganya.....
Tiap kita selesai melakukan kegiatan, pasti kita akan menuju rumah
Entah ingin beristirahat, makan, bermain, maupun beribadah....
Rumah itu indah.......
Jika kita menabur benih cinta di dalamnya....
Rumah tercipta untuk penghuninya..yg tidak lain adalah keluarga itu sendiri..
Tanpa keluarga rumah tak berarti apa-apa...
Begitu pula Rumah... tanpa penghuni, rumah tak berarti apa-apa juga...
namun kadang kalanya seseorang itu tidak ingin kembali ke rumahnya....
Mengapa Hal itu bisa terjadi?????
ya tentu saja...
karena tidak ada benih-benih cinta di rumahnya....
Rumah bagaikan sebuah Bank Cinta... bila kita menabung cinta semakin banyak .....maka investasi kebahagiaan semakin tinggi...
Rumah yg Indah adalah sebuah rumah yang dapat memberikan penghuninya jiwa, pikiran, dan raga yang "FRESH'..
dapat mengendalikan penghuni dari pengaruh negatif...
memberikan Cinta Kasih kepada semua yg pernah masuk ke dalamnya..
dan tentu saja Memberikan pendidikan kepada penghuninya...
jadi janganlah malu akan kondisi rumah Kita...
bersyukurlah jika kalian memiliki rumah..walaupun hanya sebuah gubug..
berjanjilah untuk merawat rumah kalian...
karena bnyk saudara-saudara kita yg tidak memiliki rumah
Berikanlah cintamu pada warisan yg luhur ini.....
Rumah... Engkau Bagaikan Tulang belulangku....
Tanpa engkau aku tak bisa berteduh di dunia ini....
Aku akan merawatmu sebisa mungkin...
Aku tak mau merusakmu...
Rumah aku mencintaimu....
kau akan kukenang sampai Maut Menjemputku.....
Rumah..indah...aku sayang kamu...
rumah aku ingin berada di pelukanmu...
rumah aku rindu padamu..
rumah aku ingin kau menantiku...
rumah...
rumah,,,......,,,,.......
Aku PUNYA RUMAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH...............................
maaf yah..waktu aku kecil..aku pernah mencoret-coret tembokmu... aku senang menggambar dan emnulis.... maaaffffffff pasti kamu sedih...
Aku juga pernah gak mau membersihkanmu...aku anak yang malas.. tapi karang udah rajin kog... aku mau nyapu ma ngepel di rumaHHHHH
RUMAH... aku paling suka masakan Rumah..apalagi buatan IBUKU!!!!!!
rumah..aku mau main petak umpet di halaman belakang atau main kemah-kemahan di bawah pohon rambutan...
Cerita tentang "Kakak dan Adik"
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya. “Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal
memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!” Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik… hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku. ” Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang.” Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai
ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana! “Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?” Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…” Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!”
Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan
sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.” Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Bisakah kita memiliki jiwa besar seperti si adik yang seperti dalam cerita, … tapi bagaimanapun, yang namanya Saudara patut kita jaga dan kita hormati, apakah itu seorang adik atau seorang kakak. Karena apa arti hidup kalau tidak bisa membahagiakan sodara dan keluarga kita
Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal
memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!” Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik… hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku. ” Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang.” Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai
ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana! “Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?” Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…” Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.” Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!”
Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan
sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.” Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Bisakah kita memiliki jiwa besar seperti si adik yang seperti dalam cerita, … tapi bagaimanapun, yang namanya Saudara patut kita jaga dan kita hormati, apakah itu seorang adik atau seorang kakak. Karena apa arti hidup kalau tidak bisa membahagiakan sodara dan keluarga kita
Selasa, 14 Desember 2010
Senin, 13 Desember 2010
"morning !"
Senin, 23 Desember 2010 23:14WIB
Selamat Malam Dunia!
Bagaimana keadaan mu hari ini? baik kah? atau sebalik nya? ku harap baik yah. hehe.
Ternyata Tuhan itu Maha Adil! Dia telah mendengar doa ku di setiap ku melakukan kewajiban yang 5 waktu sebagai seorang Muslim (walaupun belang betong).
Mentari pun sudah mulai menampakan wujudnya. dan seperti biasa aku tidak melihatnya, karena selalu bangun siang. hehe
Rutinitas memanggil dan aku pun menjalaninya seperti biasa.
Dengan badan penuh keringat, akupun pulang ke rumah sekitar jam 8 malam. Karena aku tidak biasa membawa hape dan nomor yang ku pakai dulu, jadi hape ku di pakai oleh adikku. Lalu Ibuku memberi tahu bahwa di hape yang dulu ada sms yang masuk. Sms pun ku baca dan ternyata...
Pesannya hanya berisi "Morning !". Itupun pesan dari orang yang semalam.
Senangnya hari ini yess..
Terimakasih Tuhan, walaupun hanya dalam pesan singkat, tapi aku hanya bisa mengucapkan Terima kasih..
Selamat Malam Dunia!
Bagaimana keadaan mu hari ini? baik kah? atau sebalik nya? ku harap baik yah. hehe.
Ternyata Tuhan itu Maha Adil! Dia telah mendengar doa ku di setiap ku melakukan kewajiban yang 5 waktu sebagai seorang Muslim (walaupun belang betong).
Tepatnya kemarin malam, tanpa disengaja aku bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak bertegur sapa di sebuat situs sosial.Seperti biasa dengan modus menanyakan kabar dan akhirnya berlanjut ketahap yang selanjutnya.haha.
Ketika dia menyebutkan "You can count on me, to wake you up today and tell you that it's all okay. Just keep me here." lalu aku balas "hopefully tomorrow there who say "good morning".
dan setelah lumayan lama menunggu balasan, ternyata dia menghilang di telan bumi. haha (makanan kali)
Setelah malam lumayan larut, akupun sudah tak bisa lagi menahan indra penglihatan yang sudah tidak bisa lagi untuk diajak berkompromi.
Tertidurlah dengan Komputer yang masih menyala.
Ketika dia menyebutkan "You can count on me, to wake you up today and tell you that it's all okay. Just keep me here." lalu aku balas "hopefully tomorrow there who say "good morning".
dan setelah lumayan lama menunggu balasan, ternyata dia menghilang di telan bumi. haha (makanan kali)
Setelah malam lumayan larut, akupun sudah tak bisa lagi menahan indra penglihatan yang sudah tidak bisa lagi untuk diajak berkompromi.
Tertidurlah dengan Komputer yang masih menyala.
Mentari pun sudah mulai menampakan wujudnya. dan seperti biasa aku tidak melihatnya, karena selalu bangun siang. hehe
Rutinitas memanggil dan aku pun menjalaninya seperti biasa.
Dengan badan penuh keringat, akupun pulang ke rumah sekitar jam 8 malam. Karena aku tidak biasa membawa hape dan nomor yang ku pakai dulu, jadi hape ku di pakai oleh adikku. Lalu Ibuku memberi tahu bahwa di hape yang dulu ada sms yang masuk. Sms pun ku baca dan ternyata...
Pesannya hanya berisi "Morning !". Itupun pesan dari orang yang semalam.
Senangnya hari ini yess..
Terimakasih Tuhan, walaupun hanya dalam pesan singkat, tapi aku hanya bisa mengucapkan Terima kasih..
Rabu, 08 Desember 2010
Pejamkan
Kamis, 09 Desember 2010 00.13 WIB
Suatu malam ketika hening tiba, terbayang akan mata tertutup dan tak bisa lagi terbuka. apa yang akan kita lakukan? apa yang akan kita rasakan? ketika alam yang sesaat ini tak bisa lagi kita rasakan dan dingin nya tanah serta cacing mungkin yang akan selalu menemani.
Coba lihat dengan asa, begitu tipis antara kematian dan kehidupan. kapan saja ajal bisa datang. mungkin detik ini juga?
kuharap aku diberi kesempatan untuk melihat betapa indahnya dunia yang sesaat ini bersama orang-orang yang ku cintai, terutama Ibu.
Suatu malam ketika hening tiba, terbayang akan mata tertutup dan tak bisa lagi terbuka. apa yang akan kita lakukan? apa yang akan kita rasakan? ketika alam yang sesaat ini tak bisa lagi kita rasakan dan dingin nya tanah serta cacing mungkin yang akan selalu menemani.
Coba lihat dengan asa, begitu tipis antara kematian dan kehidupan. kapan saja ajal bisa datang. mungkin detik ini juga?
kuharap aku diberi kesempatan untuk melihat betapa indahnya dunia yang sesaat ini bersama orang-orang yang ku cintai, terutama Ibu.
Selasa, 07 Desember 2010
Dingin
Rabu, 08 Desember 2010 01.47 WIB
hening menimpa asa dalam terang di tengah luasnya padam,
hidup sesaat ini tak kunjung padam,
menunggu datang keramaian menghampiri jiwa,
seakan lama menjelang terang,
namun sabar yang begitu besar tetap setia menemani,
akankah keramaian menghampiri asa dalam rasa?
sulit sungguh penantian yang tak kunjung datang,
apakah aku bisa?
apakah aku akan berhasil?
semoga jiwa mendapat balasan yang sama dengan sabar.
sajenak menundukan kepala,
namun bintang selalu mengangkat kepala,
seakan aku harus melihatnya.
kenyataan, di atas sana lambaian tangan terus tak berhenti,
malu rasa ku tak tertahan,
harapan, ada apa dengan engkau?
memang hidup butuh pasti,
namun ragu selalu saja datang ketika pasti menyuruhku mengambil jalan,
tak tau itu benar atau salah,
yang pasti di persimpangan jiwa aku berdiri dengan kepala mnunduk melihat debu.
hening menimpa asa dalam terang di tengah luasnya padam,
hidup sesaat ini tak kunjung padam,
menunggu datang keramaian menghampiri jiwa,
seakan lama menjelang terang,
namun sabar yang begitu besar tetap setia menemani,
akankah keramaian menghampiri asa dalam rasa?
sulit sungguh penantian yang tak kunjung datang,
apakah aku bisa?
apakah aku akan berhasil?
semoga jiwa mendapat balasan yang sama dengan sabar.
sajenak menundukan kepala,
namun bintang selalu mengangkat kepala,
seakan aku harus melihatnya.
kenyataan, di atas sana lambaian tangan terus tak berhenti,
malu rasa ku tak tertahan,
harapan, ada apa dengan engkau?
memang hidup butuh pasti,
namun ragu selalu saja datang ketika pasti menyuruhku mengambil jalan,
tak tau itu benar atau salah,
yang pasti di persimpangan jiwa aku berdiri dengan kepala mnunduk melihat debu.
Senin, 06 Desember 2010
YAKIN!
Selasa, 07 Desember 2010 01:48 WIB
sebatang tak perlu takut untuk berbuat,
terkadang emosi mental lembek bila mengingat,
tanpa mereka kau harus bisa,
tanpa mereka kau harus lanjutkan,
ingat, ini hanya sebuah persimpangan yang bersifat tidak kekal,
raihlah, gapailah tanpa ada rasa batas,
sebatang bukanlah halangan,
yakin kelak sebatang yang ramping akan menjadi gemuk,
Dia tidak mewajibkan berhasil,
tapi Dia mewajibkan untuk berjuang,
walau dengan sebelah mata,
jangan takut untuk maju,
maukah kau terus datar?
aku rasa tidak,
emosi kita sama, maka tak perlu ragu,
jangan pernah ada asa yang kecil,
coba bakar dengan air yang bisa membuat kertas menyala,
yakin suatu hari kita pasti bangun,
dengan langkah pincang, atau tak berkaki sekalipun,
percaya kita bisa!
sampai terlihat bening surga dalam air dan cahaya yang semakin membesar!
sebatang tak perlu takut untuk berbuat,
terkadang emosi mental lembek bila mengingat,
tanpa mereka kau harus bisa,
tanpa mereka kau harus lanjutkan,
ingat, ini hanya sebuah persimpangan yang bersifat tidak kekal,
raihlah, gapailah tanpa ada rasa batas,
sebatang bukanlah halangan,
yakin kelak sebatang yang ramping akan menjadi gemuk,
Dia tidak mewajibkan berhasil,
tapi Dia mewajibkan untuk berjuang,
walau dengan sebelah mata,
jangan takut untuk maju,
maukah kau terus datar?
aku rasa tidak,
emosi kita sama, maka tak perlu ragu,
jangan pernah ada asa yang kecil,
coba bakar dengan air yang bisa membuat kertas menyala,
yakin suatu hari kita pasti bangun,
dengan langkah pincang, atau tak berkaki sekalipun,
percaya kita bisa!
sampai terlihat bening surga dalam air dan cahaya yang semakin membesar!
Langganan:
Postingan (Atom)